Hai, Sang Penakhluk Hati

Saturday, February 01, 2014



Hai, kemana saja kau? Tidakkah suratku kau baca? Sesibuk apa kau sekarang, sampai menuliskan kata rindu di secarik kertas saja tidak sempat. Aku tidak pernah putus asa meski kau menyuruhku berjalan  menuju pelataran yang kau sebut tempat berteduh, padahal tidak ada kau di sana. Aku masih akan terus duduk di sini, menyalakan senter untuk berjaga – jaga siapa tau kau kembali menelusuri jalanan yang kau sebut terlalu gelap. Cahaya senter ini aku rasa sudah cukup 

Kenapa kau heran aku masih tersenyum? Kau bergurau? Bagaimana bisa aku menghapus senyuman ini ketika tiap detik di kepalaku adalah wajah berbinar mu. Kau masih tidak percaya? Aku hanya tidak bisa menghapus ukiran wajahmu yang teduh penuh kasih. Iya, aku di sudut kedai kopi yang kau kunjungi bersama kekasih barumu saat itu.  

Mereka bilang aku menyedihkan. Menghabiskan waktuku pada lelaki yang mereka sebut bajingan. Candaan mereka keterlaluan, kau diumpat sebagai lelaki pemain hati. Bukan, kau bukan pemain hati. Kau berhati baik, pandai menakhlukkan hati sendu milik wanita yang rapuh.


Kau ingat waktu itu? Aku sedang terduduk lesu di bangku taman, menggenggam bunga yang langsung layu setelah baru saja mekar. Kau datang dengan pandangan menyejukkan, aku jatuh hati. Lalu kemudian ada wanita dengan pipi merah menangis tersedu di halte. Kau juga berhasil membuat dia jatuh hati. Kau baik sekali.

kaum marjinal

Subjektivitas, Penoreh Luka Kaum Marjinal

Thursday, January 23, 2014


Musim pura-pura galau ujian-tapi-belum-ada-persiapan sudah lewat, jargon "datang, kerjakan, dan lupakan" untuk sementara tidak akan terdengar gaungnya. Sekarang masa - masanya liburan sambil tetep rutin check portal nilai dengan gerakan jantung yang kadang bkin pengen muntah. Iya kan? Udah iyain aja biar cepet. 

Belakangan ini saya mulai percaya bahwa ada variabel lain yang harus dimasukkan kedalam sistem penilaian, kalau biasanya adalah Tugas, Kuis, UTS, dan UAS dengan porsi yang berbeda-beda sekarang sudah saatnya memasukkan indikator kedekatan dengan sang pemberi nilai kedalam penentuan nilai akhir, bahkan mungkin ini adalah faktor dengan porsi terbesar. BISA JADIIII !

Subjektifitas. Kenapa sih harus subjektif ketika punya parameter untuk objektif. Tapi kita ga bisa menutup mata bahwa emang subjektivitas ini sudah jadi keseharian kita. Kalau mau makan aja deh dulu, ketika waitress warung sebelah lebih ganteng dan itu warung punya temen meskipun warung satunya lagi dengan menu sama harga lebih murah dan porsi lebih gede, kita akan cenderung untuk akhirnya ke warung sebelah kan, bukan ke warung satunya lagi (ini apple to apple ga sih?)

Tapi kalau masalah beli di warung mana karena ada penilaian subjektif kan ga masalah, tidak merugikan siapapun karena semua orang yang lewat situ dan liat waitress nya ganteng punya kesempatan yang sama untuk belanja di situ. Lah, lain halnya kalau masalah nilai akhir yang untuk sebagian orang itu akan ditenteng - tenteng di dalam map sambil masuk ke gedung - gedung bertingkat. Ini masalah dapur mengepul atau tidak, bung ! Mari bung, rebut kembali. (halah)

Ketika indikator penilaian untuk nilai akhir ditambahkan menjadi sejauh apa dosen deket sama mahasiswanya kedalam form penilaian ghaib, maka hancurlah hati sebagian mahasiswa lain yang tidak punya akses untuk bisa diperhitungkan di dalam form ghaib tersebut. Berkeping - keping, luluh lantah, bahkan nonton serial komedi aja bisa berkaca - kaca. 

Beruntunglah dan terberkatilah mereka yang memang berada dalam list kaum - kaum yang punya nilai tambah untuk membangun ikatan emosional dengan dosen. Tapi bagaimana nasib kaum - kaum yang untuk move-on saja susah, apalagi membangun ikatan emosional yang baru *eh 

Kalau kata orang - orang, kuliah itu kalo ga pinter - pinter banget paling ga bisa jilat lah gitu. Jahat kan? Jilat es krim magnum infinity yang ga abis - abis aja capek. Soalnya kalau kamu bisa membangun hubungan emosional tadi, nilai tipis ngatung bisa diselamatkan. Beda halnya dengan kamu yang kalau nyapa dijalan aja dicuekin, mau nilai kamu ngatungnya setipis tisu toilet jangan harap bisa dibantu berdiri, ditengok saja tidak. 

Memang sih kuliah atau menuntut ilmu itu tidak hanya perkara nilai semata, tapi sejauh apa kamu bisa memahami dan memperoleh ilmu. Namanya juga nuntut ilmu bukan nuntut nilai. Tapi kalau sistemnya rada - rada ghaib dan subjektifnya kebangetan kan ga enak juga sih. 

Pahami jugalah perasaan kaum - kaum marginal yang tidak punya bakat, kemampuan, kesempatan untuk itu. Udah gitu. Pernah dirugikan karena subjektivitas juga? Coba cerita di bawah, di kolom komen ya. Jangan di bawah batu kapur. 

Mari junjung tinggi objektivitas

Salam
Annisa, pengamat perasaan kaum marjinal

Instagram