family

Aku tegar, bukan?

Thursday, November 15, 2012


                Menjadi tegar bukan berarti tidak boleh merasakan gamang, bukan? Menempuh jalan untuk seutuhnya bisa dewasa bukan berarti tidak boleh merasakan kesedihan, iyakan? Emosi hati tidak sepenuhnya bisa ditolak, dan saat ini ketika kerinduan dan air mata mengucur bukan berarti aku gagal melewati fase untuk menjadi manusia yang lebih baik, benarkan?
                Berbicara jujur pada diri sendiri sampai saat ini masih terus aku pelajari, memang ada masa di mana aku masih saja menentang apa yang sebenarnya hati ini ungkapkan. Aku masih saja terus menolak ketika hati berusaha untuk menyudutkan bahwa aku bukan sekokoh yang selama ini aku pikirkan. Aku rapuh, di tengah aku selalu berusaha meyakinkan bahwa aku tidak.
                Siapa yang bisa menolak kerinduan mendalam pada sosok yang selama ini terus menjadi inspirasi dan alasan kenapa aku masih bertahan di tengah hingar – bingarnya dunia dengan senyuman? Manusia mana yang bisa dengan masa bodoh mengikis cinta yang selama sembilan belas tahun ini terus tumbuh perlahan meninggi pada sosok yang dengan tulus menyemangati? Aku selalu lemah bila dihadapkan pada kondisi ini. Saat di mana aku merindukan bau khas untuk dipeluk, wajah jahil untuk ditatap, kedewasaan luar biasa yang membuat kenyamanan. Aku selalu gagal memperkuat tanggul untuk tidak meluapkan air mata ketika aku dengan pasti membayangkan kehangatan berada di sekililing orang – orang yang aku cintai dan senantiasa tulus mencintai. Cinta yang tak pernah luntur oleh waktu, cinta yang sudah mengalir sejak lama dalam darah, dan terus akan meninggi seiring bertambahnya helaan nafas. Aku rapuh ketika harus dihadapkan pada rindu yang bergejolak yang dibatasi oleh jarak.  
Sincerely, your daughter, your sister.  

cinta

Kata Mereka Aku Salah Mencintaimu

Thursday, November 15, 2012



                Malam yang begitu menyenangkan, tapi takut dan sedih juga beriringan bersamanya. Malam yang aku yakini tidak akan pernah aku lupakan, awal cerita panjang yang tidak pernah tersirat sebelumnya. Aku telah mengukir lembaran baru dengan tangan hitam berbalut darah yang mungkin halamannya tidak akan pernah berakhir. Aku membencinya.

                Ini kali ke tujuh aku menekan tombol panggil dengan balutan warna hijau. Sudah lebih dari 30 menit aku menunggu di bawah sinar rembulan yang tampaknya enggan dan hanya bersembunyi dibalik awan yang mungkin sebentar lagi akan menangis.
                Angin malam begitu dingin, aku katupkan kancing jaket yang baru saja aku terima dua hari yang lalu sebagai hadiah ulang tahun. Ku sembunyikan tangan kiriku ke dalam kantongnya untuk mendapatkan rasa hangat. Sementara satunya lagi tetap berusaha mendapatkan suara di ujung sana.
                Entah sudah berapa liter darah yang aku sumbangkan kepada nyamuk yang sedari tadi berisik mengganggu telinga. Aku hampir saja menangis sesaat sebelum terdengar suara di ujung sana.
                “Maaf sayang, aku masih ada kerjaan. Besok malam aku jemput di rumah ya. Love You”, hanya sepenggal itu yang aku terima. Belum sempat aku berkata sepatahpun, dan sudah disambut dengan tuuuttt….
                Ini menyebalkan, aku harus kembali pulang sebelum malam semakin larut. Ingin rasanya aku dibawa terbang saja oleh deru kendaraan. Melayang, dan kemudian terhempas di dataran yang aku tidak mengenalnya. Kemudian lenyap seperti debu yang dibawa angin badai.
Kali pertama ia ingkar janji dan tepat di hari yang seharusnya kami merayakan dua tahun kebersamaan. Aku seperti disia-siakan, ini tidak seperti ia yang biasanya. Apa mungkin ia sudah tau aku punya kejutan besar, dan ia tidak menyukainya? Tega sekali.
                Aku dilempari batu dan aku bingung kenapa setiap orang yang lalu lalang menghadiahiku tatapan sinis sekaligus iba. Aku memang mencium bau kurang sedap dari badanku, mungkin sudah berpuluh – puluh hari aku tidak mandi. Entah tepatnya berapa, semenjak tidak dibolehkan lagi pulang ke istana -yang sebelumnya aku anggap tempat paling nyaman- aku sudah tidak tau hitungan waktu. Aku tidak lagi peduli aku menginjakkan kaki di mana.
                Sekarang janin ini, aku bawa mencari makanan di tempat yang tidak ditemui orang – orang. Sainganku hanya kucing ataupun binatang jalanan yang lain. Lebih menyenangkan ketimbang aku harus masuk restoran megah dengan aroma makanan sedap, tetapi keluar hanya dengan air mata dan tetap dengan rasa lapar.
                Ini tidak adil, sementara aku harus tertawa ditengah air mata bercucuran atau sebaliknya. Cemas kalau besoknya aku ditemukan dengan lumuran darah yang membanjiri tubuh. Kau yang dulu selalu berjanji untuk selalu ada bersamaku apapun keadaanya, kini tengah bercumbu mesra dengan wanita yang rambutnya terurai. Wanita yang wangi dengan aroma parfum mahalnya, yang masih bisa pulang kerumah tanpa harus berjalan dengan tatapan sinis.
                Atau apakah kau benar – benar mencintaiku, dan akan mengirimkan teman untuk menemaniku menyusuri kelamnya lorong dan menjadikan kami wanita yang memakan anaknya sendiri untuk tetap bisa bertahan hidup? Ah, sudahlah sekarang aku sedang menunggu ada gerombolan petugas yang akan menyeretku ke panti sosial. Aku mencintaimu di tengah aku membenci hidupku.
                 

Instagram