30harikotakubercerita

Kotaku Sudah Terkenal

Wednesday, September 02, 2015




Sudah satu tahun lebih saya menjadi bagian dari 10 juta penghuni kota yang luasnya hanya 600-an kilometer persegi ini. Tempo hari saat saya pulang kampung, salah satu teman lama mengungkapkan keheranan kenapa saya kok masih mau balik lagi ke Jakarta. Menurutnya Jakarta sumpek, macet, jahat, dan segala macam hal negatif lainnya. Respon saya hanya tersenyum, karena apa yang teman saya ungkapkan memang bagian dari citra kota ini. Dulunya sewaktu masih kuliah di kawasan Jawa Barat saya juga merasakan hal yang sama, males banget kalau harus hidup di Jakarta.

Saya rasa hampir semua masyarakat Indonesia tau tentang Jakarta, ada banyak sekali peluang kerja yang terhampar di sini. Mulai dari kerjaan yang butuh skill bersertifikasi hingga pekerjaan yang bikin kesel orang waras. Hal ini yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk memulai hidup selepas kuliah di kota yang saat ini dipimpin Ahok. Hari – hari kerja saya habiskan di ruangan ber AC dan akhir minggu jika sudah selesai dengan persoalaan cucian dan bebersih saya masuk ke pusat perbelanjaan. Entah memang ada kebutuhan yang harus dipenuhi atau hanya keluar masuk toko. Lama kelamaan rutinitas seperti ini sedikit berdampak negatif terhadap pola pikir, keseringan liat tag harga berujung pada haus kekayaan. Melihat harga stroller bayi yang harganya hampir sama dengan sepeda motor kadang bikin pusing.

backpacker

5 Hari 3 Negara 2 Juta

Sunday, April 12, 2015


Setelah satu tahun menunggu, paspor saya yang belum ternodai dan tertidur nyenyak akhirnya menjumpai harapannya untuk dikasih stempel imigrasi negara – negara. ”Ihiy! Keluar negeri juga nih, akhirnya gue punya bahan buat update Path” ringkasnya itu isi kepala saya setelah menerima email tiket. Tiket hasil buruan promonya Air Asia, tanpa itu manalah mungkin yang kala itu mahasiswi (semester akhir sibuk galau pengen nikah aja karena males skripsi) bisa keluar negeri.
Setelah hampir tidak jadi berangkat (lagi) karena jadwal seminar skripsi nyaris bentrok –untungnya tidak karena molor-, hari di mana waktunya saya menuju Bandara Husein tiba. Saya agak sedikit gemetar melewati petugas imigrasi yang katanya pelit senyum, untung . “Ga takut?” kata petugas imigrasi wanita setelah tau saya baru pertama kali ke luar negeri dan sendiri pula. Saya hanya membalas dengan senyum getir, takut dimintai oleh – oleh kalau dijawab, selain repot bawanya juga menguras budget.

Hai, Sang Penakhluk Hati

Saturday, February 01, 2014



Hai, kemana saja kau? Tidakkah suratku kau baca? Sesibuk apa kau sekarang, sampai menuliskan kata rindu di secarik kertas saja tidak sempat. Aku tidak pernah putus asa meski kau menyuruhku berjalan  menuju pelataran yang kau sebut tempat berteduh, padahal tidak ada kau di sana. Aku masih akan terus duduk di sini, menyalakan senter untuk berjaga – jaga siapa tau kau kembali menelusuri jalanan yang kau sebut terlalu gelap. Cahaya senter ini aku rasa sudah cukup 

Kenapa kau heran aku masih tersenyum? Kau bergurau? Bagaimana bisa aku menghapus senyuman ini ketika tiap detik di kepalaku adalah wajah berbinar mu. Kau masih tidak percaya? Aku hanya tidak bisa menghapus ukiran wajahmu yang teduh penuh kasih. Iya, aku di sudut kedai kopi yang kau kunjungi bersama kekasih barumu saat itu.  

Mereka bilang aku menyedihkan. Menghabiskan waktuku pada lelaki yang mereka sebut bajingan. Candaan mereka keterlaluan, kau diumpat sebagai lelaki pemain hati. Bukan, kau bukan pemain hati. Kau berhati baik, pandai menakhlukkan hati sendu milik wanita yang rapuh.


Kau ingat waktu itu? Aku sedang terduduk lesu di bangku taman, menggenggam bunga yang langsung layu setelah baru saja mekar. Kau datang dengan pandangan menyejukkan, aku jatuh hati. Lalu kemudian ada wanita dengan pipi merah menangis tersedu di halte. Kau juga berhasil membuat dia jatuh hati. Kau baik sekali.

Instagram