Sudah satu tahun lebih saya menjadi
bagian dari 10 juta penghuni kota yang luasnya hanya 600-an kilometer persegi
ini. Tempo hari saat saya pulang kampung, salah satu teman lama mengungkapkan
keheranan kenapa saya kok masih mau balik lagi ke Jakarta. Menurutnya Jakarta
sumpek, macet, jahat, dan segala macam hal negatif lainnya. Respon saya hanya
tersenyum, karena apa yang teman saya ungkapkan memang bagian dari citra kota
ini. Dulunya sewaktu masih kuliah di kawasan Jawa Barat saya juga merasakan hal
yang sama, males banget kalau harus hidup di Jakarta.
Saya rasa hampir semua masyarakat
Indonesia tau tentang Jakarta, ada banyak sekali peluang kerja yang terhampar
di sini. Mulai dari kerjaan yang butuh skill bersertifikasi hingga pekerjaan
yang bikin kesel orang waras. Hal ini yang akhirnya membuat saya memutuskan
untuk memulai hidup selepas kuliah di kota yang saat ini dipimpin Ahok. Hari –
hari kerja saya habiskan di ruangan ber AC dan akhir minggu jika sudah selesai
dengan persoalaan cucian dan bebersih saya masuk ke pusat perbelanjaan. Entah
memang ada kebutuhan yang harus dipenuhi atau hanya keluar masuk toko. Lama
kelamaan rutinitas seperti ini sedikit berdampak negatif terhadap pola pikir,
keseringan liat tag harga berujung pada haus kekayaan. Melihat harga stroller
bayi yang harganya hampir sama dengan sepeda motor kadang bikin pusing.