Kotaku Sudah Terkenal
Wednesday, September 02, 2015
Sudah satu tahun lebih saya menjadi
bagian dari 10 juta penghuni kota yang luasnya hanya 600-an kilometer persegi
ini. Tempo hari saat saya pulang kampung, salah satu teman lama mengungkapkan
keheranan kenapa saya kok masih mau balik lagi ke Jakarta. Menurutnya Jakarta
sumpek, macet, jahat, dan segala macam hal negatif lainnya. Respon saya hanya
tersenyum, karena apa yang teman saya ungkapkan memang bagian dari citra kota
ini. Dulunya sewaktu masih kuliah di kawasan Jawa Barat saya juga merasakan hal
yang sama, males banget kalau harus hidup di Jakarta.
Saya rasa hampir semua masyarakat
Indonesia tau tentang Jakarta, ada banyak sekali peluang kerja yang terhampar
di sini. Mulai dari kerjaan yang butuh skill bersertifikasi hingga pekerjaan
yang bikin kesel orang waras. Hal ini yang akhirnya membuat saya memutuskan
untuk memulai hidup selepas kuliah di kota yang saat ini dipimpin Ahok. Hari –
hari kerja saya habiskan di ruangan ber AC dan akhir minggu jika sudah selesai
dengan persoalaan cucian dan bebersih saya masuk ke pusat perbelanjaan. Entah
memang ada kebutuhan yang harus dipenuhi atau hanya keluar masuk toko. Lama
kelamaan rutinitas seperti ini sedikit berdampak negatif terhadap pola pikir,
keseringan liat tag harga berujung pada haus kekayaan. Melihat harga stroller
bayi yang harganya hampir sama dengan sepeda motor kadang bikin pusing.
Sebab keinginan untuk mewaraskan
diri ini membuat saya mencari alternative lain dalam menghabiskan akhir pekan.
Selain dari datang ke berbagi expo yang banyak banget digelar, kebutuhan akan
ruang terbuka di tengah kota akhirnya dirasakan. Ada satu ruang public di
Jakarta yang terkenal, meski tidak terlalu hijau. Ruang publik yang di
tengahnya terdapat ikon kota Jakarta, saking terkenalnya keponakan saya yang
waktu itu baru pertama kali ke Jakarta punya obsesi sendiri untuk melihat Monas
secara langsung dan akan bercerita kepada teman – teman dan gurunya di sekolah
saat pulang kembali.
Menurut Wikipedia, Monumen
Nasional ini didrikan untuk mengenang perjuangan dan perlawanan rakyat
Indonesia merebut kemerdekaan. Monas yang tingginya sekitar 130 meter ini di
atasnya di mahkotai oleh lidah api yang dilapisi oleh emas sebagai symbol semangat
perjuangan yang menyala. Sejujurnya saya baru menikmati lapangan Monas saja,
belum sampai masuk dan naik ke atasnya. Mungkin bisa jadi pilihan kegiatan
selanjutnya untuk mengisi kesenggangan saya saat ini.
Itu sedikit tentang perkenalan kota saya, ada yang bilang bahwa cinta akan dirasakan saat sudah tidak memiliki. Saya rasa saya sudah jatuh cinta dengan Jakarta, saya merindukannya saat saya tak berada di sana.
0 comments