kaum marjinal

Subjektivitas, Penoreh Luka Kaum Marjinal

Thursday, January 23, 2014


Musim pura-pura galau ujian-tapi-belum-ada-persiapan sudah lewat, jargon "datang, kerjakan, dan lupakan" untuk sementara tidak akan terdengar gaungnya. Sekarang masa - masanya liburan sambil tetep rutin check portal nilai dengan gerakan jantung yang kadang bkin pengen muntah. Iya kan? Udah iyain aja biar cepet. 

Belakangan ini saya mulai percaya bahwa ada variabel lain yang harus dimasukkan kedalam sistem penilaian, kalau biasanya adalah Tugas, Kuis, UTS, dan UAS dengan porsi yang berbeda-beda sekarang sudah saatnya memasukkan indikator kedekatan dengan sang pemberi nilai kedalam penentuan nilai akhir, bahkan mungkin ini adalah faktor dengan porsi terbesar. BISA JADIIII !

Subjektifitas. Kenapa sih harus subjektif ketika punya parameter untuk objektif. Tapi kita ga bisa menutup mata bahwa emang subjektivitas ini sudah jadi keseharian kita. Kalau mau makan aja deh dulu, ketika waitress warung sebelah lebih ganteng dan itu warung punya temen meskipun warung satunya lagi dengan menu sama harga lebih murah dan porsi lebih gede, kita akan cenderung untuk akhirnya ke warung sebelah kan, bukan ke warung satunya lagi (ini apple to apple ga sih?)

Tapi kalau masalah beli di warung mana karena ada penilaian subjektif kan ga masalah, tidak merugikan siapapun karena semua orang yang lewat situ dan liat waitress nya ganteng punya kesempatan yang sama untuk belanja di situ. Lah, lain halnya kalau masalah nilai akhir yang untuk sebagian orang itu akan ditenteng - tenteng di dalam map sambil masuk ke gedung - gedung bertingkat. Ini masalah dapur mengepul atau tidak, bung ! Mari bung, rebut kembali. (halah)

Ketika indikator penilaian untuk nilai akhir ditambahkan menjadi sejauh apa dosen deket sama mahasiswanya kedalam form penilaian ghaib, maka hancurlah hati sebagian mahasiswa lain yang tidak punya akses untuk bisa diperhitungkan di dalam form ghaib tersebut. Berkeping - keping, luluh lantah, bahkan nonton serial komedi aja bisa berkaca - kaca. 

Beruntunglah dan terberkatilah mereka yang memang berada dalam list kaum - kaum yang punya nilai tambah untuk membangun ikatan emosional dengan dosen. Tapi bagaimana nasib kaum - kaum yang untuk move-on saja susah, apalagi membangun ikatan emosional yang baru *eh 

Kalau kata orang - orang, kuliah itu kalo ga pinter - pinter banget paling ga bisa jilat lah gitu. Jahat kan? Jilat es krim magnum infinity yang ga abis - abis aja capek. Soalnya kalau kamu bisa membangun hubungan emosional tadi, nilai tipis ngatung bisa diselamatkan. Beda halnya dengan kamu yang kalau nyapa dijalan aja dicuekin, mau nilai kamu ngatungnya setipis tisu toilet jangan harap bisa dibantu berdiri, ditengok saja tidak. 

Memang sih kuliah atau menuntut ilmu itu tidak hanya perkara nilai semata, tapi sejauh apa kamu bisa memahami dan memperoleh ilmu. Namanya juga nuntut ilmu bukan nuntut nilai. Tapi kalau sistemnya rada - rada ghaib dan subjektifnya kebangetan kan ga enak juga sih. 

Pahami jugalah perasaan kaum - kaum marginal yang tidak punya bakat, kemampuan, kesempatan untuk itu. Udah gitu. Pernah dirugikan karena subjektivitas juga? Coba cerita di bawah, di kolom komen ya. Jangan di bawah batu kapur. 

Mari junjung tinggi objektivitas

Salam
Annisa, pengamat perasaan kaum marjinal

fenomena

Fenomena di Ramadhan

Saturday, August 03, 2013


Ramadhan sudah di putaran akhir, hari kemenangan sudah mulai terlihat lewat iklan-iklan sirup yang biasanya bersambung sekarang sudah dalam satu cerita utuh. Undangan buka bersama rekan sejawat atau teman lama juga sudah dipenuhi satu-satu. Pasar dan pusat perbelanjaan modern lainnya ramai dikunjungi orang-orang yang ingin tampil trendy dan memukau saat idul fitri. Pergerakan ekonomi Indonesia menjelang lebaran ini diperkirakan  90 Triliun (sumber: Singgalang).

Lalu bagaimana dengan amalan? Mesjid-mesjid mulai sepi peminat karena pengunjungnya sudah beralih ke kue lebaran yang harus disiapkan, pernak-pernik rumah mesti diperbarui biar kalau nanti kolega atau saudara datang selain mereka nyaman juga bisalah sedikitnya pamer kalau punya sofa baru, gorden mentereng, dan toples yang berisi penuh dengan kue.

Fenomena-fenomena di atas memang sering bahkan rutin kita jumpai disetiap putaran Ramadhan dan Idul Fitri.

Al-Qur’an nya sudah khatam? :)
Dhuhanya masih lancar? :)
Taraweh jalan? :)

Sekarang diganti dengan:

Sudah beli baju baru? 
Toples kuenya udah keisi penuh?
Sumbangan buat acara remaja mesjid sudah terkumpul banyak?
Tetottt.

life guide

Seperti Apa?

Tuesday, March 19, 2013

Masa depan itu seperti apa? 
Seperti genggaman tangan ayah pada putrinya?
yang menghangatkan dan tidak ada satupun yang perlu dikhawatirkan?
atau

Seperti tatapan kasih ibu pada anaknya?
teduh dan sejuk tanpa ada celah untuk dirisaukan
ataukah

seperti auman harimua pada mangsanya?
mengerikan dan memaksa kita untuk kembali?
melupakan tujuan dan biarkan harimau lapar menerkamnya?
mungkin 

seperti deruman sungai deras dikala musim hujan
yang siap melahap siapapun yang tak punya nyali dan kesiapan
menenggelamkan asa yang tidak pernah sejalan dengan usaha?

Instagram